Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu
telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia
lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah
berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian.
Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu
Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim,
yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa,
dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah
Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya
Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku
Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini,
Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang
menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi
jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya
padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba,
Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar
diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh
Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa
untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang
hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya
menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva
dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat
yang tidak baik. Mereka dengan halus
memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu
berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan
penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan
Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu
Brawijaya juga sudah memperingatkan agar
momongan mereka ini berhati-hati, tidak
gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan
orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang
terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hamper
didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan
Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan
memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok.
Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-
orang muslim-pun mendepat kesempatan besar.
Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China
yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu
Brawijaya tersebut, tidak satupun yang
diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para
Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada
Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah
laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja,
ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara
rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus
menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda
kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker
( Ponorogo sekarang ), mempersembahkan tarian
khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru.
Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini
dimainkan dengan menggunakan piranti tari
bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti
tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan
banyak hiasan bulu-bulu burung merak
diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu
orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid
yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang
dimainkan oleh wanita tulen ). Ditambah satu
tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang
Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari
acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-
lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini.
Manakala beliau menanyakan makna dari
suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati
dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa
sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa
Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan
Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol
dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah
adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang
terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati.
Pasukan banci adalah pasukan Majapahit.
Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras,
dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit,
kini diperintah oleh seekor harimau yang
dikangkangi oleh burung Merak yang indah.
Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan
sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit
sekarang berubah menjadi penakut, melempem
dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras
acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat
kebingungan menghadapi invasi halus,
imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan
terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan
agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-
orang Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal
dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu
Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama
para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit.
Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan
perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden
Bathara Katong untuk memimpin pasukan
Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! (
Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar
Shashangka.
)
Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’.
Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau
menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi
Anarawati meminta daerah Ampeldhenta (
didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan
daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan
disana, rencananya akan dibangun sebuah
Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum
muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka
Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim
utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh
Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit
dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak
dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar
keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi
peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata.
Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand
ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali
Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional
pada waktu itu, mereka disambut oleh
masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana
sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa.
Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir
utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana
Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon
menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk
hanya untuk sekedar meminta beliau agar
‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan
ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada
waktu itu karena dianggap lancang. Namun,
beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman.
Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan
Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang.
Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut
Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah
penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang
meninggal. Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim
akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal
oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama
Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang
dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha =
Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil
dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan
doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan
Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama
berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali
Sembilan.: Damar Shashangka
)
Rombongan dari Champa ini sementara waktu
beristirahat di Gresik sebelum meneruskan
perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit.
Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-
Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia.
Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama
Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada
di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand
sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih.
Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand
dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati,
Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti
ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan
Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali
Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan
Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah
mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan
Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa
mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah
menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi
Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll ). Namun lama
kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama
Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik
sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari
Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam
pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang
membantu. Tak berapa lama, berdirilah
Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-
lama berubah menjadi Pesantren untuk
membedakannya dengan Ashrama pendidikan
Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas
dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan
nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima,
menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah
tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva
dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan
Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar
dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum
missioner. Kaum yang punya misi tertentu.
Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam,
Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu
sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak
ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu
Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja
Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau
yang takluk dibawah kangkangan burung Merak,
Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu
dari Wengker dulu.
telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia
lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah
berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian.
Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu
Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim,
yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa,
dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah
Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya
Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku
Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini,
Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang
menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi
jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya
padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba,
Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar
diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh
Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa
untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang
hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya
menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva
dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat
yang tidak baik. Mereka dengan halus
memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu
berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan
penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan
Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu
Brawijaya juga sudah memperingatkan agar
momongan mereka ini berhati-hati, tidak
gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan
orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang
terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hamper
didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan
Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan
memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok.
Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-
orang muslim-pun mendepat kesempatan besar.
Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China
yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu
Brawijaya tersebut, tidak satupun yang
diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para
Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada
Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah
laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja,
ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara
rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus
menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda
kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker
( Ponorogo sekarang ), mempersembahkan tarian
khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru.
Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini
dimainkan dengan menggunakan piranti tari
bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti
tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan
banyak hiasan bulu-bulu burung merak
diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu
orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid
yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang
dimainkan oleh wanita tulen ). Ditambah satu
tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang
Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari
acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-
lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini.
Manakala beliau menanyakan makna dari
suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati
dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa
sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa
Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan
Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol
dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah
adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang
terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati.
Pasukan banci adalah pasukan Majapahit.
Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras,
dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit,
kini diperintah oleh seekor harimau yang
dikangkangi oleh burung Merak yang indah.
Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan
sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit
sekarang berubah menjadi penakut, melempem
dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras
acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat
kebingungan menghadapi invasi halus,
imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan
terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan
agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-
orang Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal
dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu
Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama
para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit.
Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan
perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden
Bathara Katong untuk memimpin pasukan
Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! (
Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar
Shashangka.
)
Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’.
Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau
menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi
Anarawati meminta daerah Ampeldhenta (
didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan
daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan
disana, rencananya akan dibangun sebuah
Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum
muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka
Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim
utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh
Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit
dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak
dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar
keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi
peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata.
Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand
ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali
Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional
pada waktu itu, mereka disambut oleh
masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana
sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa.
Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir
utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana
Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon
menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk
hanya untuk sekedar meminta beliau agar
‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan
ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada
waktu itu karena dianggap lancang. Namun,
beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman.
Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan
Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang.
Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut
Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah
penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang
meninggal. Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim
akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal
oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama
Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang
dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha =
Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil
dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan
doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan
Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama
berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali
Sembilan.: Damar Shashangka
)
Rombongan dari Champa ini sementara waktu
beristirahat di Gresik sebelum meneruskan
perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit.
Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-
Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia.
Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama
Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada
di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand
sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih.
Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand
dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati,
Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti
ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan
Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali
Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan
Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah
mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan
Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa
mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah
menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi
Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll ). Namun lama
kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama
Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik
sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari
Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam
pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang
membantu. Tak berapa lama, berdirilah
Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-
lama berubah menjadi Pesantren untuk
membedakannya dengan Ashrama pendidikan
Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas
dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan
nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima,
menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah
tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva
dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan
Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar
dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum
missioner. Kaum yang punya misi tertentu.
Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam,
Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu
sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak
ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu
Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja
Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau
yang takluk dibawah kangkangan burung Merak,
Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu
dari Wengker dulu.