PASAR PATI
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
PASAR PATI

Kumpulan semua warga pati dan sekitarnya untuk menjalin persahabatan

Pencarian
 
 

Display results as :
 


Rechercher Advanced Search

Login

Lupa password?



RSS feeds

Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Statistics
Total 38 user terdaftar
User terdaftar terakhir adalah enjelins

Total 2237 kiriman artikel dari user in 567 subjects

You are not connected. Please login or register

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Majapahir Part XIII END

2 posters

Go down  Message [Halaman 1 dari 1]

whotte2


Admin

Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kem
ungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu
tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam
hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga
memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya
tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk
sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta
kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin
merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun.
Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil
Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga
bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo
Palon dan Naya Genggong berterus terang,
Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya
jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut,
Sabdo Palon dan Naya Genggong 'menampakkan
wujudnya yang asli' kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau
menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam
ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya
bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia :
Damar Shashangka
).
Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan
gambaran apa yang bakal terjadi kelak di
Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit,
'kesadaran' masyarakat Nusantara akan jatuh
ketitik yang paling rendah. 'Kulit' lebih diagung-
agungkan dari pada 'Isi'. 'Kebenaran Yang
Mutlak' dianggap sebagai milik golongan tertentu.
Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti
ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun
kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan
memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir
bandang, angin puting beliung, ombak samudera
naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan
laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti,
datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah
melakukan penyeleksian. Alam akan memilih
mereka-mereka yang 'berkesadaran tinggi'. Yang
'kesadarannya masih rendah', untuk sementara
waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan
ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah
terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan
muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon
dan Naya Genggong akan 'merawat tumbuhan
kesadaran' dari mereka-mereka yang terpilih.
Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga
'tumbuhan Buddhi' yang mulai bersemi itu. Itulah
saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan
berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara,
pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya
kembali.
Memang sudah menjadi garis karma, kehendak
Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini
berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak
ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha.
Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak
mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak,
Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus
tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan
berseminya agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau
menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara,
dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan
Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau
menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan
yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan
masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir
terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu.
Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan
Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru.
Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut
kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi
tegang, sedih, bingung...
Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara.
Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan
seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah
sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian,
mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas
dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA
GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai
sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO
PALON. : Damar Shashangka
).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo
Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang
Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
"Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu
dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya
kita berpisah. Selamat tinggal ananda."
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah
hormat, lalu bergegas keluar dari ruang
pertemuan. Semua yang hadir masih bingung
melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada
beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana
mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu
untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya
diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang
ada didepan beliau. Beberapa pasukan
Bhayangkara yang memutuskan untuk setia
mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga,
yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan
Kalijaga memberanikan diri menanyakan
keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu
menjawab, semua memang harus terjadi.
Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga
segera mendekat kepada beliau.Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat,
apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas
menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka
beliau harus rela melepaskan mahkota beserta
pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja.
Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika
sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan
beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah
simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan
Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak
bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa
putus : Damar Shashangka.)
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah
rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari
sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga
beserta para santri menuju Trowulan.
Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit
menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan
mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu
Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua
pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar
maklumat serupa dari Demak Bintara yang
memfatwakan, peperangan sudah berhenti,
diharamkan membunuh mereka yang telah kalah
perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur
menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara
waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari
Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai
suatu kenangan keberhasilan mendamaikan
kedua belah pihak, memberikan nama baru
kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi.
( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong
bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor
waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya
di Trowulan, air dalam bambu itu berubah
menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah
lambang dari sebuah negara, air kotor yang
diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang
dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan
Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih
setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya
stabilitas negara.: Damar Shashangka).
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke
Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging
beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden
Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara
Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari
Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan
Raden Patah sendiri.
Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan
Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar
pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah,
diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara.
Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan
mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya
memberikan amanat untuk mendampingi
keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden
Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada
di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan
Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya
dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa
kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja
besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti
dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada
Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan
dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan
digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma
satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan
dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari
keturunan dari Tarub.
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah
oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan
Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi
pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan
Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka.
Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi
tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang
Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar
Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram,
akan tampil kemuka menggantikan keturunan
Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri
Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang
terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta,
Mangkunegaran dan Paku Alaman :Damar
Shashangka.
)
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya
jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan
Kalijaga dengan setia mendampingi beliau.
Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya
berwasiat agar dipusara makam beliau kelak
apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama
beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir
Majapahit. Melainkan beliau meminta agar
dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai
penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir
Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok
Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari
belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi
Anarawati atau Putri Champa dan beliau
diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai
seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya
sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu.
Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun
dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra
dan putri beliau berkabung.
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan
Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan
kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka
tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu
SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti
angka '0'. ILANG berarti angka '0'. KERTA berarti
angka '4' dan BHUMI berarti angka '1'. Dan
apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478
Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari
nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden
Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa
yang sangat indah dalam mengenang sebuah
kejadian penting.
Dan Raden Patah, memindahkan pusat
pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan
oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan
gelar Sultan Syah 'Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak
Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di
Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah,
tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak.
Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis
habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya
sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran,
kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari
Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada
habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti.
Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam
dipeta perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi,
Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin
menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit
hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya
menjadi mimpi belaka.
Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara
akan disegani sebagai Macan lagi?


Sumber: FACEBOOK

dion moexz



Akhirnya selesai jga!Smile Smile

http://pasarpatinet.blogspot.co…

Kembali Ke Atas  Message [Halaman 1 dari 1]

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik