PASAR PATI
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
PASAR PATI

Kumpulan semua warga pati dan sekitarnya untuk menjalin persahabatan

Pencarian
 
 

Display results as :
 


Rechercher Advanced Search

Login

Lupa password?



RSS feeds

Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Statistics
Total 38 user terdaftar
User terdaftar terakhir adalah enjelins

Total 2237 kiriman artikel dari user in 567 subjects

You are not connected. Please login or register

Asal-Usul Nama Nasi Gandul

2 posters

Go down  Message [Halaman 1 dari 1]

freedonx



Kota Pati tentu identik dan lekat dengan nasi
gandul, masakan khas dari kota Pantura ini.
Sebenarnya, tak hanya nasi gandul yang
melegenda dari kota asal Si Roro Mendut ini. Ada
soto kemiri (asalnya dari Desa Kemiri) dan
gethuk runting (asalnya dari Desa Runting).
Namun, yang paling kesohor yah memang nasi
gandul ini. Nasi ini berdiaspora hingga ke
Yogyakarta dan Jakarta. Menu ini
direkomendasikan Bondan Winarno, wartawan
kuliner tenar.

Oh yah. Kalau hendak berburu nasi gandul
genuine, silakan menelisik Desa Gajahmati, yang
terletak di sebelah selatan Terminal Bus Pati.
Adalah Almarhum Pak Melet, yang hingga kini
dipercaya sebagai orang yang memopulerkan
nasi gandul ini. Memang, Pak Melet sendiri
bukanlah pedagang pertama nasi gandul.
Awalnya, di tahun 1950-1960-an, para penjaja
nasi gandul berjalan kaki sambil menggotong
pikulan yang berisi kendil (kuali) kuah gandul di
satu sisi, dan bakul nasi di sisi lainnya. Lambat
laun, para pedagang lebih memilih menetap
dengan membuka sebuah warung atau
memanfaatkan ruang depan rumahnya untuk
berjualan.

Nah, pola jualan yang sebelumnya ideran
(mengedarkan dengan jalan kaki berkeliling) dan
berubah menjadi buka warung ini, nampaknya
sebangun juga dengan sejarah warung bubur
kacang ijo (burjo). Burjo kini menjadi santapan
wajib para pelajar dan mahasiswa yang hidup di
rantau dengan ngekos atau menjadi kontraktor –
maksudnya masih tinggal di rumah kontrakan,
hehehe… Jika burjo terkenal di kota-kota pelajar
seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, Bandung,
Jakarta, dan lain-lain, nah hanya nasi gandul
yang mengecambah di Pati.

Mungkin menarik jika kita bisa menelus seluk-
beluk dan perkembangan masakan khas lainnya.
Dan bukan mustahil, bisa kita tuangkan ke dalam
tulisan tersendiri. Kembali ke nasi gandul. Karena
awalnya digotong dengan pikulan itulah, dia
disebut nasi gandul. Gandul sendiri artinya
menggantung. Pikulan itu naik-turun seiring
dengan langkah si penjaja.

Kini hampir tidak kita jumpai penjaja nasi gandul
yang ideran. Mereka lebih memilih jualan
stationaire di warungnya. Tapi, uniknya, pikulan
tersebut tetap dipakai di depan meja utama.
Kayak apa sih nasi gandul itu? Nasi ini, sekilas
seperti rawon. Kuahnya coklat kemerahan.
Gandul asli yang dijajakan di Pati disajikan di
atas piring bulat. Di atas piring terdapat sebuah
potongan daun pisang sebagai alas. Jenis
pisangnya adalah pisang kluthuk (pisang biji).
Hal ini agar memberikan aroma nan segar
terhadap kuah. Di dalam kuahnya terdapat
thethelan (potongan) daging dan gajih (lemak)
sapi. Jangan kuatir! Saat ini, para pedagang nasi
gandul memodifikasi kuah nan bersantan ini
hanya dengan daging, zonder lemak. Jadi, nasi
gandul nampaknya tetap aman dinikmati oleh
pengidap kolesterol.

Setelah nasi putih diguyur kuah beserta beberapa
potong thethelan, rasanya kok ada yang kurang.
Nah, Anda bisa menambahkan lauk. Uniknya,
lauk ini berasal dari semua organ sapi. Ada otak,
lidah, daging, paru, jantung, usus, babat buku,
babat handuk, babat jala, kikil, kulit, dan lain
sebagainya. Jika Anda sedang menghindari
makanan hewani, nah, ini dia! Silakan lengkapi
nasi gandul dengan sebuah perkedel atau tempe
goreng. Tempe goreng ini unik. Si tempe begitu
garing dan krispi sewaktu digigit. Ternyata,
rahasianya, tempe direbus dulu dengan santan
sebelum digoreng. Tentu ini agak berbeda
dengan nasi gandul yang dijual di kota lain.
Meski si empu warung (setidaknya mengaku) dari
Pati, nasi gandulnya sudah disesuaikan sana-sini.
Misalnya, di Jakarta, lauknya sudah terpotong-
potong ke dalam kuah. Kita tak perlu memesan
lauk yang tersendiri. Pernah saya menikmati nasi
gandul di Yogyakarta. Potongan lauknya lebih
kecil. Dalam seporsi, kita bisa memilih dua jenis
lauk itu. Bisa daging (empal) dan usus, empal-
kikil, dan lain-lain. Apapun modifikasinya, baik
Pati asli maupun sesuaian, tetap nikmat kok.
Nah, karena nasi gandul ini disajikan dengan alas
piring daun pisang, kuah dan nasi tak menyentuh
dasar piring atau seakan menggantung. Karena
itulah, nasi ini disebut nasi gandul. Versi ini
sekaligus melengkapi versi pertama.

Argumentasinya, jika nasi gandul diedarkan
dengan pikulan, burjo dulunya juga dipikul.
Minuman dawet, yang sudah ada sejak zaman
sebelum Kerajaan Demak, pun dipikul. Nasi soto
dulunya juga dijual dengan dipikul. Kenapa
hanya nasi ini yang disebut nasi gandul? Jenis
makanan lainnya, yang dijual ideran dengan
pikulan kok tidak dinamakan gandul? Dus,
sendoknya terbuat dari daun pisang juga.
Namanya suru. Sebagian ada yang bilang nyuru,
nyiru. Bagi yang belum terbiasa memakai sendok
daun pisang, tak usah kuatir. Setiap warung kini
menyediakan sendok logam.

Eh, ada juga versi dirty joke-nya loh. Sekali lagi
ini hanya joke dan kurang bisa
dipertanggungjawabkan validitas
kesejarahannya. Pada suatu ketika, ada seorang
penjual nasi gandul yang memakai sarung.
Ketika duduk, terlihat “adiknya” yang gandul-
gandul. Oleh para pembeli, mulai saat itu,
disebutlah nasi tersebut sebagai nasi gandul.
Hehehe… Ah, apapun versinya, yang terang, nasi
ini sedap bin lezat nian. Jika Anda menginjak
Kabupaten Pati Bumi Mina Tani, jangan lupa
berburu nasi gandul. Eit, jangan lupa ditingkahi
dengan segores olesan kecap manis. Emmm…
nyamleng tenan.

ratukesehatan



ratukesehatan



ratukesehatan



Sponsored content



Kembali Ke Atas  Message [Halaman 1 dari 1]

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik